Rabu, 29 Februari 2012

TOKOH IBNU RUSYD

BELAJAR FILSAFAT BERSAMA IBNU RUSDY
OLEH :
SYAFIUL HUDA S.fil
Taman-taman kota dan Masjid Agung di Andalusia yang dibuat keluarga besar Khalifah
Abu Ya’qub Yusuf (1163-1184) penguasa Sevilla, menjadi saksi bisu kehadiran seorang
Filsuf besar Islam. Filsuf yang dikenal tidak hanya di dalam dunia filsafat Islam, Filsafat
Barat pun mengenalnya dengan sangat baik. Dialah Ibnu Rusyd (1194-1195) atau
sebagai Averrous para filsuf Barat mengenalnya. Seorang filsuf kenamaan kelahiran
Cordova, ibokota Andalusia pada waktu itu.
Gagasan-gagasan besarnya tidak begitu dikenal di dalam filsafat Islam, andai saja ia
tidak menciptaTahafut at-Tahafut. Bahkan pemikiran dan karya-karya yang merupakan
buah komentar dari karya-karya Aristoteles lebih banyak dikenal di Barat. Di dalam
filsafat Islam, namanya masih saja ada dalam bayang-bayang al-Ghazali, tokoh yang
dikritiknya karena kritiknya terhadap filsafat melalui Tahafut al-Falasifah. Sepertinya
orang-orang Islam pada umumnya mengenal Ibnu Rusyd dalam sebagai bagian orangorang
yang menyimpang karena ajaran-ajaran filsafat mereka dan mengenal Tahafut
at-Tahafut sebagai sebuah kesesatan yang mencoba menghancurkan jalan lurus yang
dikenalkan al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah-nya. Hampir-hampir para pemikir
Islam yang cenderung tenggelam dalam bidang fiqih, jarang merujuk pada karya-karya
Ibnu Rusyd, yang juga merupakan ahli fiqih terkenal di Andalusia. Padahal Ibnu Rusyd
memiliki sebuah kitab fiqih yang cukup otoritatif, Bidayatut Mujtahid. Meskipun secara
garis besar kitab tersebut seperti sekedar memaparkan fiqih empat madzab yang ada,
dan berikut pandangan-pandangan Ibnu Rusyd sendiri.
Baik sebagai faqih maupun filsuf memang kurang begitu dikenal dalam dunia Islam,
kecuali beberapa tokoh saja yang pernah mengenalnya di Andalusia. Sedangkan di
Barat, Ibnu Rusyd atau Averrous ini dikenal cukup baik, para pemikirnya seperti Dante
mengenal tokoh Islam ini benar-benar karena komentar-komentarnya pada karya-karya
Aristoteles. Dalam bukunya
Divine Comedia Dante menyebut Ibnu Rusyd sebagai sang Komentator Aristo terbesar.
Selain itu dalam filsafat Barat pemikiran Ibnu Rusyd juga masih menjadi perdebatan
hingga saat ini. Perdebatan tentang kebenaran ganda antar akal dan wahyu yang oleh
mereka dikatakan itu diajarkan oleh Ibnu Rusyd. Demikianlah, sosok Ibnu Rusyd lebih
dikenal Barat, daripada Islam yang sebenarnya ibu kandung tokoh ini.
Sekilas tentang Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd lahir di Cordoba, ibukota Andalusia, pada tahun 1194, dengan nama Abu
al-Walid Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Rusyd. Di dalam keluarga para ahli
hukum, ia tumbuh dan berkembang. Memberinya bekal di masa hidupnya ke depan
tentang fiqh dan berbagai ilmu-ilmu yang ia perlukan. Bekal finansial, moral, dan
tuntunan bagi Ibnu Rusyd.
Satu catatan penting dalam sejarah karir pemikiran Ibnu Rusyd adalah peran seorang
gurunya, Ibnu Thufail (w. 1185). Seorang dokter, filsuf, mungkin astronom,
matematikawan, dan juga penyair yang mengabdikan diri pada keluarga dinasti
Muwahidun, menjadi dokter dan wazir Sultan Abu Ya’qub Yusuf, penguasa Granada
waktu itu. Tokoh inilah yang berperan penting pada perkembangan pemikiran Ibnu
Rusyd muda. Atas rekomendasinyalah nama Ibnu Rusyd terpilih sebagai orang
mumpuni yang beruntung atas pengangkatannya sebagai seorang komentator karyakarya
Aristoteles.
Sebelumnya Sultan Abu Ya’qub Yusuf meminta Ibnu Thufail memberikan komentar
pada berbagai macam karya Aristoteles. Sekian banyak terjemahan yang ada dan
komentar-komentar yang diberikan pada karya-karya Aristoteles dirasa oleh sultan
begitu sulit dipahami. Ibnu Thufail yang sudah tua merasa tidak mampu untuk
melakukannya. Ibnu Thufail yang melihat kecermalangan muridnya, Ibnu Rusyd,
akhirnya merekomendasikannya untuk melakukan tugas itu. Ibnu Rusyd pun
menjalankan tugas itu dengan baik. Di buatlah komentar-komentarnya terhadap karyakarya
terjemahan Aristoteles. Bahkan dia mengkategorikan komentarnya menjadi tiga
bagian. Ringkasan (jami), komentar sedang (talkhis), dan komentar detil
(syarh atautafsir). Sayangnya karir cemerlang Ibnu Rusyd harus pupus, saat Granada
dipimpin Khalifah Abu Ya’la Yusuf al-Mansur (1184-1199). Peta perpolitikan saat itu
berubah, karena peperangan sedang berkecamuk. Tentara-tentara Salib mengancam
kedaulatan kekuasaan sang khalifah dan juga Islam. Upaya terbaik yang dapat
dilakukan adalah dengan meminta tangan-tangan dingin para teolog dan ahli fiqh
ortodok untuk turun tangan mengibarkan bendera perang bagi umat Islam. Ibnu Rusyd
dengan filsafatnya yang sejak awal dimusuhi para teolog dan ahli fiqih itupun akhirnya
harus disingkirkan dari pengaruh politiknya. Buku-buku Ibnu Rusyd dibakar, ajaranajarannya
dinyatakan sesat dan keluar dari Islam. Mendekati penghujung hidupnya,
filsuf Cordoba ini dibuang ke Lucena, dekat tempat kelahirannya, Cordoba. Meskipun
pada akhirnaya al-Mansur kembali memperlakukannya dengan baik dengan
mengundang kembali beliau ke istana pada tahun 1197. Setahun kemudian Ibnu Rusyd
meninggal di Marakish, Maroko, pada tanggal 10 Desember 1198.
Karya-karyanya
Membahas karya-karya Ibnu Rusyd akan menarik sekali bila pemaparannya merujuk
pada tulisan seorang pemikir pembaharu dari Maroko, Muhammad Abid al-Jabiri. Al-
Jabiri dalam tulisannya itu mengatakan banyak sekali karya-karya Ibnu Rusyd hampir di
setiap bidang tokoh Andalusia ini memiliki karya-karya yang otoritatif sebagai rujukan.
Dari bidang akidah hingga politik.
Di bidang akidah Ibnu Rusyd dikatakan oleh al-Jabiri memiliki tiga kitab penting. Al-
Kasyf’an Manahij al-Adilah fi Aqaid al-Millah, Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa
asy-Syariah min al-Ittishal, dan Tahafut at-Tahafut. Dari kitab-kitab ini Ibnu Rusyd ingin
menyatakan bahwa filsafat tidaklah sesat, seperti yang dituduhkan al-Ghazali
dalam Tahafut al-Falasifah-nya. Selain itu Ibnu Rusyd juga menyatakan bahwa antara
filsafat dan syariat tidaklah bertentangan. Keduanya memiliki satu esensi yang satu
yaitu kebenaran Tuhan topik tentang ini secara rinci terdapat dalam kitab Fashl al-
Maqal-nya.
Di bidang fiqh Ibnu Rusyd pada dasarnya memiliki satu kitab yaitu Bidayatul Mujtahid
wa-Nihayah al-Muqtashidyang kemudian diintisarikan pada satu kitab yang
berjudul adh-Dharury fi Ushul al-Fiqh. Dikatakan oleh al-Jabiri bahwa dua kitab ini
benar-benar ditujukan untuk mengkritik para fuqaha setelah masa empat imam
madzab. Ibnu Rusyd menilai bahwa kebanyakan ulama-ulama fiqih di zamannya hanya
dapat mengikuti saja apa yang diajarkan oleh imam empat madzab itu.
Dengan struktur yang ada di dalamnya, Bidayatul Mujtahid ingin menyatakan harus ada
beberapa koreksi yang harus dilakukan oleh para fuqaha terhadap pandanganpandangan
para fuqaha terdahulu. Kenapa ada perbedaan dalam fiqih imam Syafii
dengan Hanafi misal. Tak hanya sebatas itu, dalam kitabnya itu Ibnu Rusyd juga
menekankan bahwa perlu adanya sebuah ijtihad baru yang dapat dilakukan oleh para
fuqaha pada zamannya itu. Ini dibuktikan dengan mengemukan pandanganpandangannya
sendiri dalam kitabnya itu setelah membahas pandangan-pandangan
fiqih imam empat madzab.
Dalam bidang filsafat sayanganya oleh al-Jabiri tidak disebutkan bahwa Ibnu Rusyd
mengarang sebuah kitab khusus untuk filsafat. Menurut hemat penulis, karya-karya
Ibnu Rusyd dalam bidang ini ada pada komentar-komentarnya pada karya-karya
Aristoteles. Perlu diingat bahwa, karena karya-karya itu berupa komentar-komentar
maka, tidak mungkin karya-karya yang dikomentari adalah diterima begitu saja secara
mentah-mentah. Banyak sekali bagian-bagian filsafat Aristo atau Yunani pada
umumnya yang tidak lepas dari mitos-mitos kuno, yang tentu tidak sesuai dengan
ajaran Islam. Agaknya Ibnu Rusyd dengan tiga kategori komentarnya telah melakukan
penyaringan terhadap itu. Dan jika mau dimasukkan, Tahafut at-Tahafut pun dapat
menjadi bagian dari karya-karya Ibnu Rusyd yang bercorak filsafat. Karyanya ini penulis
kira tidak hanya melakukan pembelaan terhadap filsafat semata. Tentu ada argumenargumen
filosofis yang ada di situ untuk melawan argumen al-Ghazali yang juga masuk
dalam kategori filsafat, metafisika.
Dalam bidang kedokteran Ibnu Rusyd memiliki sebuah kitab yang dibuat menjadi
semacam ensiklopedia, al-Kulliyat fi ath-Thibb. Sebuah kitab yang berisi tujuh jilid buku
dengan tema-tema yang berhubungan dengan anatomi, fisiologi, patologi umum,
diagnosis, materia medika, kesehatan dan terapi umum. Sebuah karya yang dibuat
dengan tujuan seperti yang dikatakan al-Jabiri untuk mensistemastisasi ilmu kedokteran
di atas pondasi ilmu pengetahuan, terutama fisika. Kitab ini oleh orang-orang Kristen, di
masa lalu dijadikan sebagai buku panduan, setelah diterjemahkan ke dalam bahasa
Latin, di berbagai universitas.
Dalam bidang gramatikal Ibnu Rusyd memiliki sebuah karya yang dikatakan oleh al-
Jabiri melampaui Ibnu Madha dengan kitab ar-Radd ala an-Nuhah-nya. Kitab itu
adalah adh-Dharury fi an-Nahw yang “berintikan kategorisasi kalimat pada kata tunggal
(mufrad) dan kata plural (murakkab) bukan pada kata benda (ism), kata kerja (fiil), dan
huruf sebagaimana berlaku dalam ilmu yang setelah era Sibawaih.”
Sedangkan dalam bidang politik kita disuguhi Ibnu Rusyd dengan kitab adh-Dharury fi
as-Siyasah sebuah kitab hasil ringkasan Republic (Politea) Plato. Sebuah gagasan
tentang Negara Kota atau Kallipolis (al-Madinah al-Fadhliyah). Sayangnya al-Jabiri
tidak menerangkan secara lebih mendetail tentang karya Ibnu Rusyd ini, ia hanya
mengatakan bahwa seperti halnya Plato, Ibnu Rusyd juga mengkonsepsikan sebuah
negara kota dengan pemerintahan-pemerintahan pilihan sebuah kota penuh keadilan
dan kemakmuran.
Pembelaan Ibnu Rusyd pada Filsafat
Di atas sedikit disinggung bahwa dalam bidang akidah, Ibnu Rusyd memiliki peran
penting dalam melakukan upaya penyelamatan filsafat dari pengasingan yang
dilakukan umat Islam sendiri paska fatwa haram al-Ghazali pada bidang pengetahuan
itu. Dua kitab yang kitabnya itu mencoba melakukan penetrasi gencarnya seranganserangan
badai yang telah dicipta Hujatul Islam, al-Ghazali. Tahafut at-
Tahafut dan Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Kedua
kitab inilah yang menjadi pilar utama pemikiran Ibnu Rusyd untuk menyelamatkan
filsafat. Meski upaya inipun baru nampak membuahkan hasil baru-baru ini saja, di era
modern ini.
Jadi lama sekali pemikiran Ibnu Rusyd ini keluar dari sarangnya dan menampakkan
kupu-kupu indahnya. Selama tujuh abad paska kematiannya, pemikiran al-Ghazalilah
yang berkibar, memunculkan kondisi stagnansi pada ajaran Islam, yang nampak
cenderung menjauhi dunia pemikiran seperti filsafat dan begitu memunculkan
ketertarikan pada kajian fiqh dan ushul begitu besar, khususnya di Sunni. Kejumudan
melanda, peta pemikiran filsafat masih ada namun nampak redup, di belahan bumi
Persia filsafat itu terus berkembang, sedangkan di belan bumi Islam lainnya, semuanya
mengalami ketidakberubahan.
Pembelaan Ibnu Rusyd yang sejak dulu ia lakukan terhadap filsafat yang sering kita
dengar adalah upayanya untuk meredam Kesesatan para Filosof, Tahafut al-
Falasifah karya al-Ghazali. Bagaimana ia mengcounter tiga argumen utama yang
difatwakan al-Ghazali pada para filosof yang dianggapnya sesat. “Perdebatan” antara
keduanya menjadi debat dua orang dari dua generasi yang berbeda dengan seolah
mewakili perdebatan sengit masa lampau antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Mu’tazilah
dengan kebebasan berfikirnya dan Asyariyah dengan ortodoksinya. Perdebatan antara
dua kubu tentang masalah akidah yang menimbulkan polemik berkepanjangan tentang
siapa Tuhan, asal-usul dan seperti apa alam semesta berikutnya. Dasar rasional
melawan teks wahyu.
Namun dalam kaitannya dengan al-Ghazali Dr. Mulyadi Kertanegara mengatakan
bahwa pada dasarnya apa yang diserang al-Ghazali adalah dunia filsafat tidak secara
keseluruhan. Hanya pengikut aliran filsafat Neo Platonis saja yang seharusnya
mendapatkan serangan itu. Adapun alasan al-Ghazali melakukan ini karena kebebasan
berfikir yang dipraktikkan orang-orang muslim Neo Platonis seperti al-Farabi (w.950)
dan Ibn Sina (w.1038), terlalu diumbar sebebas-bebasnya dan terkadang menganggap
ritual-ritual agama menjadi tidak penting. Berangkat dari sinilah al-Ghazali
mengembangkan gagasannya untuk menyerang para filosof Neo Platonis ini,
sayangnya oleh kebanyakan umat Islam itu dipahami sebagai fatwa haram bagi semua
aliran filsafat tanpa mengingat bahwa al-Ghazalipun seorang filsuf.
Rasionalitas Ibnu Rusyd pada dasarnya tidak lepas dari aliran peripatetik yang
menyatakan bahwa semua yang ada di dunia ini memiliki materi dan bentuk. Satu
gagasan Aristoteles yang begitu dijiwai oleh Ibnu Rusyd.Hylomorfis inilah yang
dijadikan pijakan oleh aliran filsafat peripatetik. Yang kemudian memunculkan grant
naration of causality principal. Di mana prinsip-prinsip kausalitas ini berangkat dari
potensialitas materi yang baru bisa terbentuk ketika ada satu wujud non-potensial yang
mengaktualkannya. Rasionalitas mencoba membuktikan keberadaan Tuhan
sebagai wahdat al-wujud.
Antara subjek dan predikat menurut kaum peripatetik memiliki dua kemungkinan
hubungan. Pertama, mumkin. Setiap hubungan akan selalu menyatakan mumkin.
Misalnya; “Aku ada”, aku ada adalah sebuah kemungkinan, meskipun sekarang aku
sudah aktual tetapi sebelum aku lahir atau setelah aku mati aku hanya “ada” sebagai
sebuah kemungkinan. Mungkin ada, mungkin tidak. Selain itu, perubahan yang terjadi
pada aku sudah menjadi indikasi bahwa aku adalah kemungkinan. Jadi aku akan selalu
membutuhkan sesuatu yang tidak berubah untuk dapat eksis.
Kedua, wajib. Adanya entitas dapat dikatakan wajib bila ia tidak dipengaruhi oleh
apapun, tidak berubah-ubah, dan aktual. Dan tentu hanya Tuhanlah yang hanya dapat
demikian. Demikianlah fondasi dasar teori peripatetik yang salah satu knight rider-nya
adalah Ibnu Rusyd.
Sanggahan-sanggahan Ibnu Rusyd terhadap tiga hal yang menyebabkan al-Ghazali
mengaharamkan filsafat;
1. Keabadian Alam
Apa yang dikatakan al-Ghazali mengenai keabadian alam yang didengungkan oleh
para filsuf? Keabadian alam yang dikatakan para filsuf memiliki ketidakkoherenan.
Ketika ada dua entitas yang abadi maka tidak dapat dibedakan mana yang pencipta
dan mana yang diciptakan. Tapi, kita lupa bahwa apa yang dibicarakan ini saat alam
belum ada alam. Al-Ghazali terjebak dengan konsep ruang dan waktu yang meliputi
alam. Ketika membahas tentang proses terciptanya alam maka lepaskan dulu konsep
ruang dan waktu.
Kata Ibnu Rusyd: “Meskipun Tuhan dan alam sama-sama abadi tetapi karena Tuhan
sebagai penyebab, sedangkan alam adalah akibat, maka Tuhan tetap yang dahulu ada
(sebagai pencipta). Hal ini dapat di ibaratkan sebagai matahari dengan sinarnya. Mana
yang lebih dahulu antara matahari dan sinarnya?”
Al-Ghazali sangat tidak relevan mengkafirkan para filsuf, hanya karena menyatakan
alam itu abadi. Padahal pijakan nilai yang dipakai oleh filsuf dan Al-Ghazali sungguh
berbeda. Jika para filsuf memancangkan konsep keabadian alam ini dalam kontek di
luar ruang dan waktu. Al-Ghazali masih terjebak dalam konteks ruang dan waktu.
Kemudian Ibnu Rusyd pun melakukan kritik balik terhadap pemikiran al-Ghazali yang
menyatakan bahwa Tuhan berkehendak ketika meciptakan alam. Menurut Ibnu Rusyd
ini tidak mungkin. Permasalahannya adalah kenapa jika kehendak Tuhan itu ada sejak
zaman azali tetapi alam datangnya kemudian. Seharusnya sejak azalipun alam sudah
ada. Rentang waktu penciptaan ini mengandaikan bahwa ada sesuatu yang lain,
membuat Tuhan harus merealisasikan alam. Tentu ini menyalahi aturan.
Para filsuf menawarkan, bahwa alam di sini bukan alam aktual. Tetapi potensi alam,
jadi potensi alamlah yang ada sejak zaman dahulu
1. Pengetahuan Tuhan
Menurut para filsuf Tuhan hanya mengetahui yang partikular secara universal. Jika
pengetahuan Tuhan bersifat partikular, maka apa-apa yang ada di dunia ini akan selalu
menjadi kehendak Tuhan. Ini berakibat, keadilan Tuhan akan dipertanyakan. Misalnya
kasus manusia yang mati bunuh diri, dengan konsep pengetahuan Tuhan yang
partikular, implikasinyapun hal ini sudah ditetapkan Tuhan. Dengan begitu konsep
pengetahuan Tuhan secara partikular mengalami permasalahan. Tuhan akan tahu
bahwa setiap manusia akan mati, sampai di sinilah pengetahuan Tuhan, tetapi
bagaimana cara manusia itu mati, hal itu diserahkan pada manusia sendiri.
Hal ini nampak sebagai keterbatasan, karena mengandaikan bahwa penglihatan Tuhan
menggunakan indera. Pengenalan Tuhan adalah pengenalan universal, karena
tiadanya indera dalam diri Tuhan.
Selalu ada batas-batas yang membatasi, terhadap Tuhan sendiri. Misalnya,
mungkinkah Tuhan membunuh dirinya? Jika mengikuti nalar tentu bisa saja Tuhan
membunuh dirinya sendiri, karena kemahakuasaan diri-Nya. Tentu tak mungkin Tuhan
membunuh dirinya.
1. Kebangkitan Jasmani Setelah Mati
Menurut para filsuf tak mungkin jasmani manusia akan bangkit setelah mati. Hal ini
merujuk pada sifat jasmani itu sendiri (tubuh tak mungkin bisa abadi, setiap yang fisik
akan selalu hancur), padahal menurut al-Qur’an, nanti manusia akan abadi di akhirat.
Maka dari itu, tak mungkin jasmani manusia ini akan bangkit menuju akhirat, karena
kefanaannya.
Dosa yang kita lakukan tak akan dirasakan sakitnya saat ini, karena tubuh
menikmatinya, begitupun dengan kebaikan yang kita lakukan saat ini seringkali terasa
menyakitkan bagi tubuh kita. Tapi, setelah meninggal, kata al-Fârâbî, kepahitan dosa
kita akan benar-benar dirasakan karena sudah tak ada yang menghalangi, yaitu tubuh.
Begitu pula dengan pahala, pahala akan kita rasakan kenikmatannya. Dosa kitalah
yang akan menyiksa kita, bukan Tuhan. Itulah gambaran al-Fârâbî tentang kehidupan
akhirat nanti.
Sedangkan konsep al-Ghazali tentang kehidupan akhirat, menurut Ibnu Rusyd tidak
konsisten karena kadangkala menyatakan bahwa surga dan neraka itu bersifat fisik di
satu buku, di buku lainnya ia menyatakan bahwa kehidupan akhirat bersifat ruhani.
Dari tiga sanggahanya ini Ibnu Rusyd mencoba untuk kembali merajut benang-benang
filsafat yang sempat dipotong-potong al-Ghazali. Ibnu Rusyd seolah berkata bahwa di
dalam filsafat Islam ini kami juga menemukan kebenaran. Namun sayangnya filsafat
Ibnu Rusyd justeru berkembang di Barat tempat ia mengasah pengetahuannya. Di
dunia Islam sendiri pintu untuk mempelajari filsafat telah dikunci mati oleh fatwa haram
al-Ghazali. Dan inipun harus diakui.
Upaya lain Ibnu Rusyd dalam usaha pembelaanya terhadap filsafat adalah dengan
menyatakan bahwa antara filsafat dan syariat tidaklah bertentangan dalam
kitabnya Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa asy-Syariah min al-Ittishal. Fatwa
haram al-Ghazali benar-benar meresap di benak dan sanubari umat Islam dan tentu
Ibnu Rusyd tidak ingin itu berlarut-larut terjadi. Ketika upaya perlawanan
dengan Tahafut at-Tahafut-nya dirasa masih kurang berhasil dalam mengambil hati
umat Islam, upaya persuasifpun dimunculkan dengan adanya kitab ini. Pada dasarnya
kitab ini berbicara tentang hubungan antara akal dan wahyu. Bertentangan atau tidak
keduanya? Oleh Ibnu Rusyd dikatakan bahwa keduanya tidaklah bertentangan.
Ada kebenaran tunggal di dalamnya. Dalam upayanya itu nampak betul bahwa Ibnu
Rusyd benar-benar berkeinginan untuk mendamaikan dua episteme ini. Untuk
memperkuat argumen ini Ibnu Rusyd membagi manusia menjadi tiga
golongan. Pertama, kelas kaum ortodoks yang tidak terpelajar. Orang-orang dalam
kategori ini jumlahnya paling banyak, dan biasanya dalam menjalani rutinitas
keberagamaannya hanya dengan bertaqlid atau mengikut. Kedua, adalah para teolog.
Golongan ini dikatakan Ibnu Rusyd adalah golongan tepelajar namun tidak mau
memahami premis-premis logika. Dan yang terakhir, adalah golongan orang-orang
yang memahami agama secara rasional.
Dari tiga kategorisasi ini Ibnu Rusyd kemudian menyatakan bahwa perbedaan
pendapat dan pemahaman dalam Islam, sebenarnya berpangkal pada ini. Allah SWT
mencipta al-Qur’an sebegitu fleksibelnya hingga dapat menyesuaikan yang membaca
dan yang memahaminya. Dari sinilah kemudian Ibnu Rusyd dinyatakan sebagai
seorang yang menyebarkan ajaran ganda. Meski kalau kita pahami lanjut sebenarnya
tidak ada itu yang namanya kebenaran ganda, yang ganda mungkin pemahamannya
saja. Jelas pembelaan yang luar biasa oleh Ibnu Rusyd pada filsafat.
Lima hal yang harus dimiliki seseorang yang ingin mendalami filsafat menurut
Ibnu Rusyd
Pertama, bakat alam. Menurut Ibnu Rusyd seseorang yang ingin mendalami harus
memiliki bekal awal yaitu nalar. Tidak semua orang memiliki kemampuan dan minat
yang sama dalam mendalami filsafat. Jadi ini penting untuk diperhatikan. Bekal otak
yang cerdas.
Kedua, tertib. Seorang yang ingin berhasil menjadi filsuf harus mempelajari filsafat
secara sistematis dan berurutan, agar tidak ada kerancuan-kerancuan.
Ketiga, objektivitas. Kejujuran untuk mengatakan benar dan tidak pada sebuah
pemikiran adalah hal penting lain yang harus dimiliki seorang calon filsuf. Ketika
mendapatkan satu kebenaran dalam suatu pemikiran katakanlah itu kebenaran, tanpa
mengurangi atau melebikan.
Keempat, keteguhan pendapat. Ketika seorang filsuf mendapatkan kepastian dalam
pemikirannya, maka sikap yang patut adalah mempertahankan pemikirannya itu
dengan sungguh. Dalam kamus seorang filsuf tidak ada yang namanya kemunafikan
pemikiran. Ketika ia menyatakan kebenaran satu hal maka ia harus
mempertahankannya mati-matian.
Kelima, keutamaan akhlak. Seseorang yang ingin mendalami filsafat harus benar-benar
meniatkan dirinya untuk fokus hanya pada pengetahuan dan kebaikan.
Demikianlah lima hal yang diajarkan Ibnu Rusyd untuk mengaktualkan diri dalam dunia
pemikiran.
Ending
Ibnu Rusyd dengan begitu gigih melakukan pembelaan terhadap apa yang diyakininya
benar. Bahwa filsafat memang bukanlah ajaran sesat yang patut dijauhi. Saya masih
ingat betul akan kata-kata guru-guru dan teman-teman waktu dulu, “Janganlah belajar
filsafat, karena filsafat dapat membuatmu menjadi atheis dan kafir”. Satu kalimat yang
saya ingat sampai sekarang. Dan ketika saya mencoba membaca-baca buku filsafat,
ada betulnya juga mereka, namun itu dalam batasan tertentu tentunya. Benar yang
dikatakan Ibnu Rusyd bahwa pemahaman yang dangkal pada pencarian dalam dunia
filsafat memang kerap mengantarkan sang pencari itu pada kesesatan. Maka ingatlah
lima pedoman itu!
Daftar Pustaka
Ahmad Zainul Hamdi, Tujuh Filsuf Muslim; Pembuka Pintu Gerbang Filsafat Barat
Modern, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2004
Joseph Losco dan Leonard Williams, Political Theory, terj, Haris Munandar, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005
Mulyadi Kertanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari Chicago, Jakarta:
Paramadina, 2000
Philip, K Hitti, Hostory of the Arabs, Jakarta: Serambi, 2005
Zuhairi Misrawi, Ibnu Rusyd, Gerbang Pencerahan Timur dan Barat, Jakarta: P3M, 200